CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Kamis, 26 Maret 2009

U2: 'NO LINE ON THE HORIZON,' Album Sebenar-Benarnya

Lima tahun sudah U2 break dari studio rekaman, kini mereka tampil lebih enerjik dan makin 'muda' saja. Setelah HOW TO DISMANTLE AN ATOMIC BOMB (2004) kini Bono cs kembali menggebrak industri musik dengan menampilkan hits andalan mereka No Line On The Horizon dalam album bertajuk sama di tahun ini.


Ada yang mungkin berbeda di album ke-12 ini, yakni U2 memilih untuk meletakkan lagu andalan mereka di urutan pertama dan menutupnya dengan Cedar of Lebanon. Dari 11 lagu yang ada, rata-rata berirama rock n roll, meski masih ada nada-nada gereja ala Bono yang masih lengket seperti biasa.

Saat mendengar lagu pertama, setiap penggemar U2 sudah dibawa melayang ke alam mereka. Bagaimana tidak, karena lagu ini begitu membius dengan distorsi gitar yang sangat kentara. Sementara untuk andalan kedua, mereka memilih Magnificent, yang tentunya juga mampu membuat penggemar memejamkan mata sambil terbawa suasana. Benar-benar apik diramu.

Coba tengok juga lagu Stand Up Comedy, di situ Bono bercerita bahwa cinta bukan hanya ke sesama, melainkan ke level yang lebih tinggi - ke Tuhan. lirik lainnya yang juga membuat penggemar musik terenyuh adalah Unknown Caller, lagu yang dikerjakan di taman sebuah hotel di Maroko, Afrika Utara. Soal musiknya? Jangan ditanya. Lagu yang dimulai dengan kicauan burung ini bervariasi dan elegan, apalagi di akhirnya yang ditutup dengan nuansa gospel yang diramu khusus.

Selain itu, pemakaian garage-organ juga terdengar kental di lagu Moment of Surrender. Apalagi ditambah suara tepukan tangan yang membuat lagu ini terdengar spesial yang bisa membuat kita terbuai seakan berada di sana juga.

Masih ada lagi lagu-lagu yang pantas didengar. Penasaran? Coba aja dengarkan langsung CDnya. Yang pasti album ini bisa dibilang yang terbaik dari album-album U2 sebelumnya. Inilah dia album yang 'sebenar-benarnya' dari Bono dkk. 

Berikut 11 lagu andalan U2 di album NO LINE ON THE HORIZON:

1. No Line On The Horizon

2. Magnificent

3. Moment of Surrender

4. Unknown Caller

5. Crazy Tonight

6. Get on Your Boots

7. Stand Up Comedy

8. Fez-Being Born

9. White As Snow

10. Breathe

11. Cedars of Lebanon

Hoobastank: 'FOR(N)EVER', Masih Sama (Saja)

Rentang waktu tiga tahun tak membuat Hoobastank mengalami banyak perubahan, setidaknya dari style mereka dalam bermusik. FOR(N)EVER, album ke empat yang muncul setelah EVERY MAN FOR HIMSELF di tahun 2006 lalu, seakan menjadi 'repetisi' dari band asal California ini, entah strategi pasar atau ketidak-sengajaan, yang jelas Doug Robb, Dan Estrin, Chris Hesse dan Jesse Charland masih sama (saja).

Betapa tidak, My Turn, single pertama yang dilepas pada 13 Oktober 2008 lalu, oleh band yang bernaung di bawah anak perusahaan label raksasa Universal Music Group, Island Record ini merekonstruksi hits mereka Out Of Control dari album THE REASON. Seakan mereka ingin menunjukkan bahwa mereka tetap ada dalam pakem post grunge atau lebih ekstrim lagi, nu metal, padahal kenyataannya mayoritas fans mengenal mereka sebagai band pop-rock. Belum lagi, rentang waktu yang cukup lama membuat band ini seakan 'salah' memilih first single. 

Single ke dua, So Close So Far, adalah sebuah gabungan aransemen, tema lirik, hingga kemiripan tempo dengan single (yang harus jujur diakui membuat Hoobastank laris manis) The Reason. Sebuah strategi mungkin? Atau justru 'ilmu' yang sama, mengingat Howard Benson adalah orang yang selama ini berdiri di belakang dua album tersebut.

Mungkin Anda pernah sekedar dengar, membaca atau bahkan termasuk golongan yang menilai Hoobastank adalah salah satu band yang terinfluence oleh Incubus. Nah, di album yang menurut Doug Robb adalah 'manifestasi tertinggi ide-ide' inilah hal tersebut nampak jelas. Track ke tujuh, Sick Of Hanging On memiliki banyak riff dan karakter A Crow Left of the Murder milik Incubus. 

Sementara track nomor sebelas, boleh dibilang 'sebelas-dua belas' dengan Light Grenades yang ditulis oleh Brandon Boyd dan kawan-kawan. Logikanya, jika Silverchair begitu kental nuansa Kurt Cobainnya, maka sebagai band yang sama-sama datang dari California, Hoobastank sah-sah saja mengambil Incubus sebagai referensinya.

Paling tidak, dalam FOR(N)EVER, Hoobastank berhasil memunculkan sound-sound baru yang orisinil, berbagai aransemennya juga membuat warna, dari shoe gaze sampai funk. Tinggal satu pertanyaan tersisa untuk band yang pernah satu sekolahan dengan tiga personel Linkin Park, Rob Bourdon, Brad Delson dan Mike Shinoda ini, di mana era apresiasi musik semakin bergantung pada tiga hal, originalitas, kemasan, dan kantong pendengar, apakah mereka akan terus bertahan?

Chris Cornell: 'SCREAM', Dominasi Timbaland!


Ia adalah orang yang (bersama Soundgarden) mendobrak dominasi heavy metal di awal 1990an, bahkan kabarnya tanpa dia Kurt Cobain tak pernah teken kontrak dengan label Sub Pop, dan tak akan pernah ada Nirvana. Namun setelah 19 tahun berselang, rupanya seorang founding fathers of grunge pun harus rela melakukan kompromi, itulah yang jelas terjadi saat seorang Chris Cornell merilis album solo ketiganya, SCREAM.

Album yang rilis pada 10 Maret 2009 tersebut berisikan 13 track yang seakan dipersiapkan Chris untuk mengejutkan Anda, bagaimana tidak, dari cara bernyanyi yang berubah (atau diubah), hingga pemilihan sound yang terkesan bukan hanya eksplorasi semata, SCREAM adalah rilisan Interscope yang boleh dibilang 'bukan' Chris Cornell.

Single pembuka yang minim improvisasi vokal khas Chris, Long Gone adalah pertanda bahwa album ini jauh dari apa yang menjadikan nama Chris Cornell menjadi besar. Single kedua yang juga sudah dirilis adalah Watch Out, sebuah track yang nyaris tanpa dasar musik yang jelas, selain permainan sampling dan loop yang mendominasi power chords gitar yang monoton, sekali lagi, 'bukan' Chris Cornell.

Kejanggalan berikutnya akan Anda temui pada track Ground Zero, sebuah lagu yang rasanya akan lebih cocok jika dinyanyikan oleh Justin Timberlake, atau Nelly Furtado, kenapa? karena paduan tempo yang rapi dari metronome looping, sampling yang (lagi-lagi) mendominasi, dan bahkan scratching turntable ala musik-musik disco 80an akan Anda temui di track dengan durasi tiga menit sembilan detik tersebut, boleh dibilang itu semua adalah resep mencipta lagu untuk musik hip-hop.

Berikutnya anda akan disuguhi oleh single yang 'menelanjangi' musikalitas Chris, Scream. Dalam single yang bertitel sama dengan judul albumnya ini, campur tangan Timothy Mosley atau lebih dikenal dengan nama beken Timbaland sebagai eksekutif produser jelas sudah terkuak. Tanpa gitar, hanya sampling, dan sound effect yang menambah kesan aneh dan dominasi sang produser.

Lagu-lagu sisanya, Part of Me, Time, Get Up, Never Far Away, Other Side Of Town, Climbing Up The Walls, jangan harapkan ada perbedaan signifikan, semuanya akan jauh menanggalkan image Chris Cornell, mulai dari penggagas Seattle sound sampai membuat Audioslaves bernuansa blues, semuanya hilang tak berbekas.

Soal musikalitas pria bernama lengkap Christopher John Boyle itu tak perlu dipertanyakan, soal olah vokal, apalagi. Namun saat kompromi pasar menjadi harga mati, adalah saat di mana seorang musisi kharismatik berada di studio yang 'salah', bersama produser yang 'salah', demi produk yang 'ramah' dipasarkan.

Kamis, 12 Maret 2009

Testament: THE FORMATION OF DAMNATION, Teriakan Itu Tetap Lantang!

Testament kembali hadir dalam industri musik dunia, di bawah naungan label metal raksasa Nuclear Blast. Medio November tahun lalu, mereka merilis album, setelah sembilan tahun tak masuk studio, dan langsung berkibar dengan THE FORMATION OF DAMNATION yang disambut hangat oleh kalangan metal di berbagai belahan dunia, sekaligus pembuktian dedikasi Testament. Chuck Billy, Eric Peterson, Greg Christian, Alex Skolnick serta Paul Bostaph masih 'terdengar lantang' sejak pertama kali 'berteriak' di tahun 1982, rentang karir yang telah mencapai seperempat abad, tidak menjadikan band ini kehilangan power. 

Band asal San Francisco, California, ini sepertinya ingin meunjukkan pada publik bahwa mereka kini semakin matang berkarya, tetap keras dan 'tetap muda' serta dapat menjaring penggemar dari era yang sudah jauh berbeda. Meski band yang sekampung dengan Metallica, Anthrax, dan Exodus ini telah mengalami beberapa pergantian personel, tapi justru membawa semangat perubahan yang tidak pernah mengecewakan. 

Hal ini tampak pada masuknya kembali gitaris Alex Skolnick, yang terakhir kali memperkuat Testament di tahun 1992. Sebuah comeback yang memakan waktu lebih dari 16 tahun. Ini tentunya merupakan kabar gembira yang menyertai album ini, karena selain 'membawa pulang' Skolnick, Eric Peterson, kembali hadir dengan sederet riff metalzonenya yang berat. Sementara rhythm section diperkuat oleh bassis orisinil Greg Christian, serta drummer Paul Bostaph yang bergabung sejak 1993. 

Dengan empat instrumentalis yang mengiringi performa Chuck Billy, vokalis berdarah Indian Cherokee yang dikenal punya range vokal yang lebar dan variatif menjangkau scream dan growl dan tak bisa diimitasi oleh penyanyi metal lainnya, rasa-rasanya wajar jika Testament disebut sebagai band legendaris yang tak termakan jaman. Tak heran, penjualan THE FORMATION OF DAMNATION di pasaran Eropa dan Amerika mencatat angka yang fantastis sejak minggu-minggu awal dirilisnya.

Angka penjualan serta respon publik yang luar biasa itu, tidak saja dipacu nama besar Testament yang menjamin garansi. Album ini menyuguhkan berbagai variasi teknik vokal seperti yang pernah dilakukan Chuck pada album-album terdahulu. Single The Formation of Damnation misalnya, dinyanyikan dengan teknik growl sebagaimana yang ia pernah lakukan pada album THE GATHERING pada awal tahun 2000 lalu. More Than Meets The Eye mengingatkan kita akan permainan vokalnya di album THE RITUAL pada pertengahan tahun 1992. 

Tema yang diangkat di rilisan ini variatif, mayoritas seputar isu politik dan globalisasi yang selalu menjadi anthem Testament. Track yang jelas-jelas mengangkat tema anti terorisme dan penderitaan kemanusiaan akan Anda temui dalam The Evil Has Landed, yang merupakan penghayatan mereka akan kengerian yang tercipta dengan runtuhnya menara kembar WTC.

Masih ada Killing Season, sebagai refleksi atas kejamnya perang yang selalu membawa kepedihan, sebuah memoar yang terinspirasi dari komunikasi mereka dengan para prajurit Amerika di medan perang. THE FORMATION OF DAMNATION, sebuah karya veteran yang tetap 'lantang berteriak' di usia yang tak muda lagi.

Senin, 09 Maret 2009

Lily Allen: 'IT'S NOT ME IT'S YOU', Sebuah Pelajaran Yang Tak Menggurui

Secara musikal, IT'S NOT ME IT'S YOU memang hampir sama riangnya dengan album Lily Allen sebelumnya, ALRIGHT, STILL. Sentuhan nada elektronik, bantuan teknologi digital, dan beat drum dance tetap mendominasi lagu-lagu di dalam album kedua ini. Namun secara keseluruhan, suasana di dalamnya cukup reflektif dan down tempo dengan alunan piano dan loops elektronik yang menemaninya.


Walaupun materinya memang cerdas dan benar-benar dipikirkan, namun tetap saja kandungannya tidak terlalu tajam dan tak bisa dilupakan seperti ALRIGHT, STILL. Allen menyerang obsesi masyarakat atas pemuda dan anti depresan, namun sentuhannya nampak apatis dan agak jauh dari kenyataan.

Seperti dalam track 22, sebuah omongan kasar tentang stigma sosial mengenai wanita yang masih melajang di usia 30 tahun, padahal Allen sendiri masih berusia 23 tahun. Dan lagu ini amat bertolak belakang dengan I Could Say, track selanjutnya, yang mengungkapkan ketidaksiapannya untuk berkomitmen karena terlalu muda.

F*** You, adalah sebuah surat terbuka yang menunjukkan kebenciannya pada mantan presiden Amerika, George W Bush, yang secara konsepnya memang mudah diterima, namun terasa telat dan basi di saat ini.

Walaupun Allen tidak mencoba untuk menggurui para pendengarnya dalam setiap lagu-lagunya, Allen mampu menggebrak dengan pengalaman dan kisah cintanya yang cerdas namun khas remaja dalam usianya yang masih 20-an ini. Who'd Have Known dan Chinese bisa juga menunjukkan sosok Allen yang lebih lembut dan penuh kasih. Dan tentu saja, lagu-lagu yang indah itu membuatnya menjadi pop princess yang patut disayangi

Kamis, 05 Maret 2009

The Killers: DAY & AGE, 'Para Pembunuh' Yang Mencoba Survive

Kalau Anda ingat HOT FUSS, debut album The Killers yang rilis di tahun 2004, pasti ingatan Anda langsung tertuju kepada lagu-lagu kuartet asal Las Vegas tersebut, yang terpengaruh New Wave dan Britpop, sementara vokalis Brandon Flowers bernyanyi dengan logat Inggris palsu, ironisnya hal ini malah membuat The Killers sangat menggebrak di masanya. 


Di album berikutnya, SAM'S TOWN (2006), The Killers merubah kembali 'kamuflase' mereka dengan berusaha terdengar lebih seperti band rock asli Amerika, lengkap dengan pengaruh Bruce Springsteen yang menonjol, beserta cambang lebat ala Wolverine. Sayang, meski sudah habis-habisan, mereka gagal mengulang kesuksesan album perdana di kala itu. 

Setelah dua kali ganti 'penyamaran', Brandon Flowers, Dave Keuning, Mark Stoermer dan Ronnie Vannucci Jr. kembali dengan campuran dua resep lama mereka di album ketiganya, DAY & AGE yang sudah rilis akhir tahun lalu, di bawah label Island Records.

Dibuka oleh single Losing Touch yang mencoba memberikan nuansa klasik, namun vokal Brendan justru mengalir begitu saja, klise. Menyusul kemudian Human, sebuah track dance-able yang terdengar sedikit 'memaksa' perpaduan lirik filosofis tapi naif, dengan sound synthesizer eighties yang riang, blending yang kurang smooth.

Hal ini sepertinya dapat dimaklumi, karena band yang pernah berseteru dengan The Bravery dan Fall Out Boy ini mendaulat Stuart Price sebagai produser, orang yang juga berada di belakang album CONFESSIONS ON A DANCEFLOOR milik Madonna. Masih ada lagi track yang mungkin akan mengingatkan Anda pada kejeniusan aransemen The Edge-nya U2, dalam The World We Live In.

Nah, bagaikan 'pembunuh bertopeng', The Killers juga punya wajah asli yang tampak jelas dalam Joy Ride, lagu riang plus jenaka di track nomor empat. Aransemen yang original serta sentuhan saksofon membuat The Killers benar-benar tidak bertopeng di lagu ini. Selebihnya..., Brendan telah menyatakan pada media bahwa ini merupakan the most playful record dari The Killers

Selasa, 03 Maret 2009

Lady GaGa: 'THE FAME,' Irama Fantastis Namun Bukan Sesuatu Yang Beda

Universal Music Group kembali menyuguhkan artis baru di bawah label besarnya, penyanyi pop dance yang dikenal karena kekhasannya dalam berbusana, Lady GaGa. Dan proyek album bertitel THE FAME ini nampaknya memenuhi harapan yang diberikan padanya. GaGa yang bernama asli Stefani Joanne Germanotta langsung menjadi seorang selebriti internasional yang melejit walaupun sebenarnya sosoknya sendiri berisiko disamakan dengan Gwen Stefani ataupun Aubrey O Day.


Sebelumnya GaGa adalah seorang penulis lagu yang cukup laris. Pussycat Dolls, Britney Spears, NKOTB, dan Akon menjadi beberapa contoh artis yang pernah bekerja sama dengannya. Dan dia juga sudah membuktikan kelihaiannya dalam bernyanyi dengan menjadikan single pertamanya, Just Dance , meraih puncak tangga lagu di mana-mana, dari Australia hingga Switzerland, dan dinominasikan pula di Grammy Awards.

GaGa membesar-besarkan albumnya sebagai album yang amat mengikuti zaman walaupun tetap merombak definisi konsep sebuah artis pop dengan menyuguhkan THE FAME. Namun sebenarnya 15 lagu di dalamnya tidak menyuguhkan sesuatu yang baru yang belum pernah didengar. 

Cukup dipengaruhi oleh musik era 80-an, kadang suaranya terdengar seperti Gwen ataupun Madonna. Bahkan kadang mengingatkan kita pada Girls Aloud. Track Money Honey malah terdengar seperti kejayaan Ace of Base yang kembali bangkit. Sementara Eh Eh (Nothing Else I Can Say) dan Paper Gangsta benar-benar terpengaruh oleh pop Eropa awal 90-an.

Walaupun Lady GaGa terus berceletuk bahwa dirinya amat bernafsu menjadi sesuatu yang beda, namun musik pop-nya yang cukup banyak menawarkan tema percintaan dan ketenaran membuatnya sulit untuk dikatakan beda dari yang lainnya. GaGa nampaknya tak bisa menunjukkan apa yang membuatnya tampak beda kecuali penampilan panggung dan kostumnya yang buka-bukaan itu.

Namun musik pop tak harus benar-benar orisinil atau cerdas, dia hanya memerlukan nada dan irama dan Lady GaGa memberikan irama yang fantastis. Mungkin Anda bisa menertawakan lagu Boys Boys Boys, namun Anda tak akan bisa menahan kemenarikan iramanya yang beralih dengan berani saat sampai pada chorusnya. Mungkin Anda akan segera bosan saat mendengar tema di dalam album yang sering kali diulang-ulang ini, namun irama Paparazzi bakal membuat otak Anda ikut bergoyang dan menolak untuk menghentikan kuping Anda untuk beralih.

THE FAME memang bukan album yang amat cerdas, namun album debut Lady GaGa ini pasti akan menjadi album yang besar.

Ello: 'REALISTIS/IDEALIS', Penantian Selama 3 Tahun

Tiga tahun break, Ello is back. Kembali lagi dengan album ketiganya, Ello memberikan sentuhan spesial dalam album yang diberi tajuk REALISTIS/IDEALIS miliknya. 70% album ini digodok di kamarnya, dan ini untuk pertama kalinya ia mengerjakannya sendiri.


Berbeda dengan dua album sebelumnya, di album ini Ello seakan mengubah warna musik - yang juga diikuti dengan penampilannya. Kalau dulu ia lebih dikenal dengan warna jazz dan RnB, sekarang ia lebih memilih macam-macam warna. Selain pop, reggae, ballad, dan rock juga termasuk di album ini. Mungkin inilah yang disebut Ello sebagai idealis musik miliknya, tanpa meninggalkan realistis selera pasar musik.

Dengan potongan rambut lebih pendek dan tubuh yang jauh lebih kurus, musisi bernama asli Marcello Tahitoe ini makin diidolakan kaum hawa. Apalagi single perdananya, Masih Ada, yang lebih menonjolkan kepiawaiannya bermain gitar. Belum juga video klip yang dibesut ciamik, yang kabarnya mirip I'm Yours milik Jason Mraz.

Selain itu, Ello juga membumbui albumnya dengan nuansa reggae yang mantap dengan iringan keyboard khas gospel di lagunya Gara-Gara Kamu. Ada pula nuansa rock n roll bercampur aroma country dan blues yang disuguhkan Ello lewat Joni Rock n Roll.

Tak berhenti cuma di situ, di album ini penyanyi yang pernah mendapat dua penghargaan untuk kategori Album Terbaik dan Pendatang Baru Terbaik dalam Anugerah Musik Indonesia (AMI) Award 2005 tersebut juga menuangkan idenya dengan menggabungkan karakter Astrid Sartiasari yang cenderung 'gelap' dengan nuansa pop miliknya di lagu Dusta di Atas Cinta.

Sementara untuk penggemar ballad, jangan takut. Ello masih punya persembahan istimewa. Lewat lagu Terbang Melayang yang diberi sentuhan spesial dan Takkan Ada Aku Lagi yang mellow dengan dentingan piano jadi andalannya di album yang sempat diboikot saat peluncurannya pada 4 Februari 2009 lalu di Hotel Crown Jakarta, gara-gara dianggap tidak ramah terhadap wartawan.

Ditotal, genap 10 lagu yang dipersembahkan Ello di REALISTIS/IDEALIS yang diluncurkan di bawah bendera Sony-BMG ini, yaitu Masih Ada, Takkan Ada Aku Lagi, Andai Selamanya, Dusta di Atas Cinta (Feat. Astrid), Seharusnya, Gara-Gara Kamu, Terbang Melayang, Joni Rock n Roll, Kaulah Yang Terakhir, dan Selamat Tinggal Kekasih Terbaik.